Jika seorang miskin berjalan jauh bersusah payah menuju si kaya untuk meminta bantuannya, maka itu bukanlah perkara yang mengherankan…
Tapi yang mengherankan jika si kaya yang menawarkan bantuan kepada si miskin dengan membukakan pintu rumahnya selebar-lebarnya….
Yang lebih mengherankan jika ternyata yang kaya tersebut adalah Allah Tuhan Yang Maha Kaya….justru bukan hanya membuka pintuNya selebar-lebarnya…bahkan Dia justru mencari-cari si miskin….bahkan mendekatkan diriNya….turun ke langit dunia di sepertiga malam yang terakhir….dengan berkata :
“Apakah ada hambaKu yang berdoa maka Aku akan kabulkan doanya…, apakah ada hambaKu yang beristighfar maka Aku ampuni dosa-dosanya…, apakah ada hambaKu yang memohon maka Aku penuhi permohonannya…?”
Seorang muslim begitu semangat untuk bangun di sepertiga malam yang terakhir tatkala ia tahu bahwa Robbnya Yang Maha Kaya turun ke langit dunia mendekat kepada hamba-hambaNya…mencari hamba-hambaNya…
Namun tentu ini lain ceritanya tatkala dikatakan bahwa yang turun bukanlah Allah….yang turun ke langit dunia hanyalah rahmatNya…karena tidak masuk akal Allah turun ke langit dunia…?!
Pada ceramah yang beredar di youtube dengan judul “Selesai Shalat Tahajud, Apa yang dicontohkan Rasulullah hinga Shalat Fajar?, al-Ustadz AH berkata :
“yanzilu robbuna tabaroka wata’ala, ini hadits Qudsi kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah subhanahu wa ta’ala kalimatnya menggunakan robb, yanzilu robbuna, saya agak pelan-pelan ya, ada nazala ada habatho’, ada nazala ada habatho’ itu lain, baca Al-Baqoroh ayat 36 eh 38 maaf Al-Baqoroh 38, ini mana Qurannya ini, Qulnahbithu minha jami’a , qulnahbithu, ihbithu, jadi turun itu ada: habatho’, ha-ba-tho, ada nazala, lain, nazala, ada habatho ada nazala, qulnahbithu minha jami’a faimma yattiyannakum minni huda dan seterusnya ayat.
Perhatikan sini, kenapa Adam ketika diturunkan oleh Allah ke bumi, kalimatnya bukan menggunakan nazala tapi menggunakan habatho, qulnahbithu minha jami’a. Perhatikan, kalau habatho itu turun dengan niat bermukim, dengan niat tinggal ya, Adam diturunkan ke bumi memang untuk tinggal di bumi, menjadi khalifah di sana memperbaiki keadaan bumi karena itu kalimat Qurannya menggunakan habatho. Ini hebatnya bahasa Al-Qur’an setiap kalimatnya itu ada makna bahkan hurufnya.
Tapi subhanallah ketika (Nabi) menerangkan Allah yang turun ke langit dunia tidak menggunakan kata habatho, menggunakan kata nazala, yanzilu robbuna ya, yanzilu, nazala itu turun ya, turun umumnya dengan tidak niat mukim, cuman turun saja, ya, jangan digambarkan di kepala kita Allah turun, bukan, maksudnya Allah menurunkan rahmatNya, sudah ada kebahagiaan yang ingin diberikan, Allah tidak segambar, tidak terbayang oleh kita, dan tidak serupa dengan apa yang kita gambarkan.
Artinya apa? kalimat ini mengandung mukjizat yang disampaikan oleh Nabi, tidak menggambarkan, kalau Nabi berkata “Yahbithu Robbunaa”, ini salah kalimat Nabinya, karena Allah tidak menempat, tidak mewaktu, artinya apa mohon maaf, tidak disifati dengan tempat dan sifat yang seperti kita menggunakannya, kalimat nazala artinya tidak turun untuk menempat”
Kesimpulan dari pernyataan AH adalah sbb :
Pertama : Menafikan kalau Allah yang turun ke langit dunia, tapi yang turun adalah rahmatNya. Dengan dalih bahwasanya hal ini melazimkan Allah bertempat dan berwaktu.
Kedua : Ada perbedaan antara kata kerja “Nazala” dengan “Habatho”. Kata “Habatho” artinya turun untuk menempat adapun Nazala artinya tidak turun untuk menempat.
Ketiga : Dari sinilah AH berani tegas berkata bahwa kalau Nabi berkata “Yahbithu Roobunaa” berarti “Salah kalimat Nabinya”
KOMENTAR :
Pertama : Hadits tentang nuzul/turunnya Allah adalah hadits yang mutawatir diriwayatkan lebih dari 20 sahabat. Hal ini menunjukkan perhatian Nabi terhadap sifat nuzul ilahi sehingga Nabi sering mengulang-ngulanginya dan diriwayatkan oleh banyak sahabat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
«يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ حَتَّى يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِي؟ فَأَسْتَجِيبَ لَهُ، مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي؟ فَأَغْفِرَ لَهُ، مَنْ يَسْأَلُنِي؟ فَأُعْطِيَهُ»
“Robb kita tabaraka wata’ala turun setiap malam tatkala tinggal sepertiga malam yang terakhir ke langit dunia dan Dia berkata : Siapakah yang berdoa kepadaku maka aku kabulkan doanya, siapakah yang memohon ampunan maka aku mengampuninya, siapakah yang meminta kepadaku maka aku akan memberikan permintaannya” (HR Al-Bukhari No. 1145 dan Muslim No. 758)
As-Syaikh Bin Baaz rahimahullah berkata,
أخبر عن نفسه أنه ينزل، لكن لا يعلم كيف النزول إلا هو، كما لا يعلم كيف الاستواء إلى هو سبحانه وتعالى، ينزل كما يشاء وكما يليق بجلاله، لا يعلم كيف نزوله إلا هو، فنقول ينزل ولا نكيف، ولا نمثل، ولا نزيد ولا ننقص، بل نقول ينزل ربنا كما قال، … فهكذا نقول: يغضب ويرضى، سبحانه وتعالى غضباً يليق بجلاله لا يشابه غضب المخلوقين، وهكذا يسمع ويبصر لا كسمع المخلوقين، ولا كبصر المخلوقين، سمعاً يليق بجلاله، وبصراً يليق بجلاله لا يشبه صفات المخلوقين، وهكذا بقية الصفات، بعضها واحد، نثبتها لله على الوجه اللائق بجلال الله، لا يشابه خلقه في شيءٍ من صفاته، … هذا قول أهل السنة والجماعة، وهم أصحاب النبي- صلى الله عليه وسلم -وأتباعهم بإحسان إلى يوم القيامة.
“Allah mengabarkan tentang diriNya bahwasanya Allah turun, akan tetapi tidak ada yang mengetahui bagaimana turunNya kecuali Allah, sebagaimana tidak ada yang mengetahui bagaimana istiwa’nya Allah kecuali Allah sendiri. Ia turun sesuai dengan kehendakNya dengan cara yang sesuai dengan kemuliaanNya. Maka kita mengatakan : Allah turun, namun kita tidak membagaimanakannya, kita tidak memperumpamakan dengan sesuatupun, kita tidak menambah dan tidak mengurangi, tapi kita katakan Robb kita turun sebagaimana yang Allah kabarkan…
Dan demikianlah kita katakan Allah marah dan Allah rido dengan kemarahan yang sesuai dengan kemuliaanNya dan tidak sama dengan kemarahan makhluk, sebagaimana Allah mendengar dan melihat tidak sama dengan pendengaran makhluk, dan tidak seperti penglihatan makhluk, akan tetapi dengan pendengaran yang sesuai dengan kemuliaanNya, dengan penglihatan yang sesuai dengan kemuliaanNya. Allah tidak menyerupai makhlukNya dalam semua sifat-sifatNya…Ini adalah perkataan Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah yaitu para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik” (http://www.binbaz.org.sa/noor/1449)
Silahkan baca kumpulan perkataan para salaf yang menetapkan sifat nuzul dalam kitab صفة النزول الإلهية ورد الشبهات حولها dari hal 231 hingga hal 275, dinukil dari sekitar 55 ulama salaf, atau sebagiannya bisa dibaca di http://abul-jauzaa.blogspot.com/2017/04/sebuah-masukan-3.html#more)
Kedua : Selain lafal يَنْزِلُ “yanzilu”, hadits-hadits datang juga dalam lafal yang lain,
Seperti dengan lafal يَهْبِطُ Yahbithu (fiil mudhori’)
إِذَا كَانَ ثُلُثُ اللَّيْلِ الْبَاقِي، يَهْبِطُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا
“Jika tiba sepertiga malam yang terakhir Allah turun ke langit dunia” (HR Ahmad No. 3673, dan dishahihkan oleh Ahmad Syakir dan para pentahqiq Musnad Ahmad)
Datang juga dengan lafal هَبَطَ Habatho (fi’il madhi’)
هَبَطَ اللَّهُ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا
“Allah turun ke langit dunia” (HR Ahmad No. 967 dan ‘Amal al-Yaum wa al-Lailah lin Nasaai No. 475 dan 485, Asy-Syari’ah li al-Ajurry No. 704 dari hadits Abu Huroiroh, Musnad Al-Bazzaar No. 478 dan Musnad Abi Ya’la No. 6576 dari Ali bin Abi Tholib, Ad-Darimi No. 1522 dan As-Sunan Al-Kubro No. 10236 dari Rifa’ah al-Juhani)
Datang juga dengan lafal :
يَدْنُو رَبُّنَا عَزَّ وَجَلَّ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا
“Robb kita mendekat ke langit dunia” (HR At-Thobroni kitab Ad-Dua’aa No. 133)
Ini semua menunjukkan bahwa Allah turun secara hakiki sesuai dengan dzohirnya.
Ketiga : Sifat nuzul (turunnya) Allah mirip dengan sifat datangNya Allah yang menunjukkan bahwa Allah mendekat kepada hambaNya. Allah berfirman :
هَل يَنظُرُونَ إِلا أَنْ يَأْتِيَهُمُ اللهُ فِي ظُلَلٍ مِنْ الغَمَامِ وَالمَلائِكَةُ وَقُضِيَ الأَمْرُ
Tiada yang mereka nanti-nantikan melainkan datangnya Allah dan malaikat (pada hari kiamat) dalam naungan awan, dan diputuskanlah perkaranya. Dan hanya kepada Allah dikembalikan segala urusan (QS Al-Baqoroh : 210)
هَل يَنظُرُونَ إلا أَنْ تَأْتِيَهُمُ المَلائِكَةُ أَوْ يَأْتِيَ رَبُّكَ أَوْ يَأْتِيَ بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ
Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka) atau kedatangan Tuhanmu atau kedatangan beberapa ayat Tuhanmu. (QS Al-An’aam : 158)
وَجَاءَ رَبُّكَ وَالمَلَكُ صَفَّاً صَفَّاً
Dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris (QS Al-Fajr : 22)
Dalam ayat-ayat di atas Allah membedakan antara kedatangan Allah dengan kedatangan malaikat atau kedatangan sebagian ayat-ayat Allah. Ini semua menunjukkan bahwa Allah datang menemui hambaNya, dan tidak boleh ditafsirkan “datangnya Allah” dengan “datangnya malaikat” atau “datangnya ayat-ayat Allah”, karena semuanya telah dirinci dalam ayat-ayat di atas.
Keempat : Adapun tafsiran AH bahwa Allah tidak turun tapi yang turun adalah rahmatNya maka ini adalah penafsiran yang keliru, karena :
– Berarti yang turun hanyalah rahmat Allah dan hanya nyantol di langit dunia. Maka apa faidahnya jika rahmat Allah hanya sampai ke langit dunia dan tidak sampai mengenai hamba di bumi?
– Tafsiran seperti ini tidaklah mungkin karena dalam hadits Allah berkata, “Siapa yang memohon ampun maka aku akan mengampuninya, siapa yang berdoa maka akan aku kabulkan” dan ini tidak mungkin diucapkan oleh malaikat karena malaikat tidak mengabulkan doa dan malaikat juga tidak mengampuni dosa-dosa. Apalagi rahmat, karena rahmat tidak berbicara, apalagi mengabulkan doa dan mengampuni dosa. Kalau malaikat yang berbicara maka malaikat akan berkata, “Sesungguhnya Allah berkata : Siapa yang berdoa maka akan Aku kabulkan…”
– Kalaupun kita menerima takwil ini, maka bukankah rahmat turun dari Allah?, berarti turun dari atas, berarti Allah berada di atas. Tidak sebagaimana pernyataan Ahlul bid’ah yang menyatakan jika Allah berada di atas berarti bertempat !!, sebagaimana syubhat yang diutarakan oleh AH jika Allah turun berarti “bertempat” !!
– Kalau yang turun adalah rahmat berarti rahmat tersebut akan naik lagi, dan besok malam turun lagi, dan seterusnya. Padahal rahmat jika turun ke bumi ke hamba-hamba Allah yang sedang beribadah di sepertiga malam yang terkakhir maka sudah selesai tidak perlu naik lagi. Kalau Allah mau turunkan rahmat maka rahmat yang lain lagi.
Kelima : Pernyataan AH (Kalau Nabi berkata “yahbithu Robbuna”, ini salah kalimat Nabinya) merupakan pernyataan yang sangat fatal, karena betapa banyak riwayat yang shahih -sebagaimana telah dijelaskan di atas- yang datang dengan lafal يَهْبِطُ Yahbithu (fiil mudhori’) atau dengan lafal هَبَطَ Habatho (fi’il madhi’). Pernyataan Nabi yang benar dan pernyataan AH keliru?
Keenam : Pernyataan AH “kalimat nazala artinya tidak turun untuk menempat” adalah hal yang aneh. Di awal AH menolak nuzul/turunnya Allah dengan alasan bahwa ini melazimkan Allah bertempat.
Namun tatkala AH membedakan antara “Habatho” dengan “Nazala” maka AH menyatakan kalau “Habatho” melazimkan bertempat, adapun “Nazala” tidak melazimkan bertempat.
Jika memang “nazala” tidak melazimkan bertempat, maka selesai urusannya, tidak perlu lagi mentakwil nuzul/turunnya Allah dengan turunnya rahmatNya.
Peringatan :
Hadits tentang turunnya Allah ditolak dzohirnya oleh kaum al-Jahmiyah, Al-Mu’tazilah, dan al-Asya’iroh, sehingga mereka mentakwilnya.
Al-Imam Utsman bin Sa’iid Ad-Daarimi rahimahullah (wafat 280 H) berkata tentang hadits nuzul/turunyya Allah :
أَغْيَظُ حَدِيْثٍ لِلْجَهْمِيَّةِ
“Ini adalah hadits yang paling membuat marah kaum Jahmiyah” (dalam kitabnya :
نقض الإمام أبي سعيد عثمان بن سعيد على المريسي الجهمي العنيد فيما افترى على الله عز وجل من التوحيد 1/500)
Al-Imam Nu’aim bin Hammad (Wafat 228 H) berkata :
حَدِيْثُ النُّزُوْلِ يَرُدُّ عَلَى الْجَهْمِيَّةِ قَوْلَهُمْ
“Hadits nuzul/turunnya Allah membantah keyakinannya kaum Jahmiyah” (At-Tamhiid li Ibni Abdilbarr 7/144)
Al-Imam Syariik bin Abdillah (wafat 177 H) ditanya bahwasanya kaum mu’tazilah mengingkari/menolak hadits-hadits nuzul/turunnya Allah maka beliaupun meriwayatkan sekita 10 hadits tentang nuzul lalu berkata :
أَمَّا نَحْنُ فَقَدْ أَخَذْنَا دِينَنَا هَذَا عَنِ التَّابِعِينَ عَنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَهُمْ عَمَّنْ أَخَذُوا؟
“Adapun kami maka kami telah mengambil agama kami dari para tabi’in dari para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, adapun mereka maka dari mana mereka mengambil agama mereka?” (Al-Asmaa wa as-Sifaat li Al-Baihaqi 2/374 No. 949)
Semoga Allah menyelamatkan kita dari aqidah sesatnya kaum Jahmiyah.
Mekkah, 12-07-1438 H / 09-04-2017
Abu Abdil Muhsin Firanda
www.firanda.com